Minggu, 24 Februari 2013

Akhlak Berbicara

Berbicara adalah salah satu nikmat Allah dan salah satu kelebihan yang diberikan kepada umat manusia dari Allah SWT. Dengan nikmat ini, manusia dilebihkan dari mahluk lain. Manusia bisa berinteraksi dengan sesamanya, manusia bisa menyampaikan isi hati dengan kata-kata dan tak kalah pentingnya manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan ilmu pendidikannya.
Orang yang tidak dapat berbicara (Tuna Wicara) itu sangatlah susah berkomunikasi, hanya sebagian orang yang bisa berkomunikasi dengan orang Tuna Wicara. Dalam kondisi seperti ini manusia baru sadar akan nikmat berbicara itu.
Dalam keseharian, kadang manusia kurang menyadari bahwa berbicara adalah nikmat dan amanah Allah yang mesti di syukuri. Diantaranya ada manusia yang berbicara kotor, tidak berguna, bahkan menggugat eksistensi Allah dan Rasulnya.
Islam menjelaskan bahwa gaya dan bobot berbicara seseorang berbanding lurus dengan kualitas keimanannya. Iman bersemayam di dalam qolb (jantung), begitu pula niat. Orang munafiq, bila berbicara selalu berdusta, lantaran di dalam qolbnya ada penyakit yang dapat mencetuskan niat buruk. Sementara gaya berbicara orang sombong dan angkuh cenderung meremehkan lawan bicaranya dan sering menolak kebenaran.
Agar bermanfaat setiap topik pembicaraan kita hendaknya mengandung unsur yang benar (haq) dan baik (khair). Benar dari segi muatan, baik segi penyampaian. Dengan kedua unsur tadi, setiap muslim bukan saja dituntut agar selalu memperhatikan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya, tapi juga gaya bicaranya. Sebab boleh jadi seseorang menolak ajakan kebaikan bukan karena muatannya, tapi lantaran cara mengajaknya yang kurang baik. Oleh sebab itu, sebelum mulai bicara, pikirkan manfaat dan dampaknya. Rasulullah saw bersabda:” Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka berkatalah dengan baik atau diam”.
Retaknya persahabatan, perceraian, perkelahian hingga pembunuhan seringkali berawal dari bicara. Tawuran kolosal antara para pelajar STM dan mahasiswa Trisakti pada waktu yang lalu, konon dipicu oleh ejekan dibalas ejekan, maka muncullah perkelahian yang tidak ada menfaatnya itu. Tentang tajamnya lidah, seorang penyair berkata:”Seseorang bisa mati karena terpeleset lidahnya namun seseorang jarang mati karena terpeleset kakinya”.
Begitu besar dampak berbicara, sehingga islam perlu menggariskan beberapa prinsip yang dapat dijadikan pedoman hidup bagi ummatnya. Pertama, setiap muslim hendaknya selalu berusaha berbicara tentang kebaikan (QS An Nissa:114). Dan menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat (QS Al Mukmin:1-3). Pembicaraan yang terbaik adalah berda'wah dan pembicaraan terburuk adalah fitnah. Menyerukan manusia kepada Allah swt merupakan kewajiban setiap muslim, sementara meninggalkan pembicaraan yang tidak bermanfaat adalah salah satu ciri kebaikannya.
Kedua, menghindari pembicaraan yang mengandung murka Allah. Misalnya membuat plesetan terhadap ayat-ayat Al Qur'an atau Hadits dengan tujuan tertentu. Termasuk plesetan adalah menafsirkan ayat Allah sesuai dengan ”pesan sponsor”.
Ketiga, menghindari perdebatan yang mengakibatkan permusuhan dan pembicaraan yang menghina dan merendahkan orang lain (QS Al Hujurat:11).
Rasulullah saw sendiri banyak mencontohkan akhlak berbicara yang baik kepada para sahabat dan keluarganya. Suatu ketika seorang Arab gunung mendatangi rumah beliau. Rasulullah menjamunya dengan baik dan penuh kesabaran, hingga meredam prilaku dan gaya bicaranya yang terkenal kasar. Setelah orang Arab gunung itu pulang, Aisyah bertanya:” Mengapa berlaku ramah dan baik kepada Arab gunung yang kasar itu?” Rasulullah saw menjawab:” Wahai Aisyah kapan kamu melihat aku berbuat keji? Sesungguhnya sejahat-jahatnya manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan oleh masyarakat karena dikhawatirkan kejahatannya”. (HR. Bukhari).
Akhlak berbicara yang baik juga ditunjukkan oleh Abu Bakar r.a. tatkala Rasulullah saw sedang duduk-duduk dengan para sahabatnya, seorang pria mencela Abu Bakar hingga menyinggung perasaannya. Satu, dua kali Abu Bakar diam saja. Spontan Rasulullah ikut berdiri, kemudian Abu Bakar bertanya kepada beliau;” Ya Rasulullah, apakah anda mempercayai ucapannya?”, Rasulullah saw menjawab:” Tidak karena malaikat turun mendustakan ucapannya. Namun ketika aku berdiri pergilah malaikat dan datanglah setan dan duduk di sana, sehingga aku mau pergi”. (HR. Abu Dawud).
Dalam pergaulan sehari-hari, syahwatul kalam (kainginan untuk berbicara) seringkali muncul tanpa disadari. Disinilah kita diuji untuk akhlak berbicara sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Wallahu'alam bishshawab .

0 komentar:

Posting Komentar