Berbicara adalah salah satu nikmat Allah dan salah satu kelebihan yang diberikan kepada umat manusia dari Allah SWT. Dengan nikmat ini, manusia dilebihkan dari mahluk lain. Manusia bisa berinteraksi dengan sesamanya, manusia bisa menyampaikan isi hati dengan kata-kata dan tak kalah pentingnya manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan ilmu pendidikannya.
Orang yang tidak dapat berbicara (Tuna Wicara) itu sangatlah susah berkomunikasi, hanya sebagian orang yang bisa berkomunikasi dengan orang Tuna Wicara. Dalam kondisi seperti ini manusia baru sadar akan nikmat berbicara itu.
Dalam keseharian, kadang manusia kurang menyadari bahwa berbicara adalah nikmat dan amanah Allah yang mesti di syukuri. Diantaranya ada manusia yang berbicara kotor, tidak berguna, bahkan menggugat eksistensi Allah dan Rasulnya.
Islam menjelaskan bahwa gaya dan
bobot berbicara seseorang berbanding lurus dengan kualitas keimanannya.
Iman bersemayam di dalam qolb (jantung), begitu pula niat. Orang
munafiq, bila berbicara selalu berdusta, lantaran di dalam qolbnya ada
penyakit yang dapat mencetuskan niat buruk. Sementara gaya berbicara
orang sombong dan angkuh cenderung meremehkan lawan bicaranya dan sering
menolak kebenaran.
Agar
bermanfaat setiap topik pembicaraan kita hendaknya mengandung unsur yang
benar (haq) dan baik (khair). Benar dari segi muatan, baik segi
penyampaian. Dengan kedua unsur tadi, setiap muslim bukan saja dituntut
agar selalu memperhatikan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya,
tapi juga gaya bicaranya. Sebab boleh jadi seseorang menolak ajakan
kebaikan bukan karena muatannya, tapi lantaran cara mengajaknya yang
kurang baik. Oleh sebab itu, sebelum mulai bicara, pikirkan manfaat dan
dampaknya. Rasulullah saw bersabda:” Barangsiapa beriman kepada Allah
dan hari kiamat, maka berkatalah dengan baik atau diam”.
Retaknya
persahabatan, perceraian, perkelahian hingga pembunuhan seringkali
berawal dari bicara. Tawuran kolosal antara para pelajar STM dan
mahasiswa Trisakti pada waktu yang lalu, konon dipicu oleh ejekan
dibalas ejekan, maka muncullah perkelahian yang tidak ada menfaatnya
itu. Tentang tajamnya lidah, seorang penyair berkata:”Seseorang bisa
mati karena terpeleset lidahnya namun seseorang jarang mati karena
terpeleset kakinya”.
Begitu
besar dampak berbicara, sehingga islam perlu menggariskan beberapa
prinsip yang dapat dijadikan pedoman hidup bagi ummatnya. Pertama,
setiap muslim hendaknya selalu berusaha berbicara tentang kebaikan (QS
An Nissa:114). Dan menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat (QS Al
Mukmin:1-3). Pembicaraan yang terbaik adalah berda'wah dan pembicaraan
terburuk adalah fitnah. Menyerukan manusia kepada Allah swt merupakan
kewajiban setiap muslim, sementara meninggalkan pembicaraan yang tidak
bermanfaat adalah salah satu ciri kebaikannya.
Kedua,
menghindari pembicaraan yang mengandung murka Allah. Misalnya membuat
plesetan terhadap ayat-ayat Al Qur'an atau Hadits dengan tujuan
tertentu. Termasuk plesetan adalah menafsirkan ayat Allah sesuai dengan
”pesan sponsor”.
Ketiga,
menghindari perdebatan yang mengakibatkan permusuhan dan pembicaraan
yang menghina dan merendahkan orang lain (QS Al Hujurat:11).
Rasulullah
saw sendiri banyak mencontohkan akhlak berbicara yang baik kepada para
sahabat dan keluarganya. Suatu ketika seorang Arab gunung mendatangi
rumah beliau. Rasulullah menjamunya dengan baik dan penuh kesabaran,
hingga meredam prilaku dan gaya bicaranya yang terkenal kasar. Setelah
orang Arab gunung itu pulang, Aisyah bertanya:” Mengapa berlaku ramah
dan baik kepada Arab gunung yang kasar itu?” Rasulullah saw menjawab:”
Wahai Aisyah kapan kamu melihat aku berbuat keji? Sesungguhnya
sejahat-jahatnya manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang
yang ditinggalkan oleh masyarakat karena dikhawatirkan kejahatannya”.
(HR. Bukhari).
Akhlak
berbicara yang baik juga ditunjukkan oleh Abu Bakar r.a. tatkala
Rasulullah saw sedang duduk-duduk dengan para sahabatnya, seorang pria
mencela Abu Bakar hingga menyinggung perasaannya. Satu, dua kali Abu
Bakar diam saja. Spontan Rasulullah ikut berdiri, kemudian Abu Bakar
bertanya kepada beliau;” Ya Rasulullah, apakah anda mempercayai
ucapannya?”, Rasulullah saw menjawab:” Tidak karena malaikat turun
mendustakan ucapannya. Namun ketika aku berdiri pergilah malaikat dan
datanglah setan dan duduk di sana, sehingga aku mau pergi”. (HR. Abu
Dawud).
Dalam pergaulan sehari-hari, syahwatul kalam
(kainginan untuk berbicara) seringkali muncul tanpa disadari. Disinilah
kita diuji untuk akhlak berbicara sebagaimana yang dicontohkan
Rasulullah saw dan para sahabatnya. Wallahu'alam bishshawab .